Friday, March 18, 2016

Kebudayaan di Sekitar Saya (Wilayah D. I. Yogyakarta)

Sekaten, berasal dari kata Syahadatain atau dua kalimat syahadat) adalah acara peringatan ulang tahun nabi Muhammad SAW yang diadakan pada setiap tanggal 5 bulan Jawa Mulud (Rabiul Awal tahun Hijriah) di Alun-alun utara Surakarta dan Yogyakarta. Upacara ini dahulu dipakai oleh Sultan Hamengkubuwana I, pendiri keraton Yogyakarta untuk mengundang masyarakat mengikuti dan memeluk agama Islam.

Sekaten

Pada hari pertama, upacara diawali saat malam hari dengan iring-iringan abdi dalem (punggawa kraton) bersama-sama dengan dua set gamelan Jawa Kyai Nogowilogo dan Kyai Gunturmadu. Iring-iringan ini bermula dari pendapa Ponconiti menuju masjid Agung di Alun-alun Utara dengan dikawal oleh prajurit Kraton. Kyai Nogowilogo akan menempati sisi utara dari Masjid Agung, sementara Kyai Gunturmadu akan berada di Pagongan sebelah selatan masjid. Kedua set gamelan ini akan dimainkan secara bersamaan sampai dengan tanggal 11 bulan Mulud, selama 7 hari berturut-turut. Pada malam hari terakhir, kedua gamelan ini akan dibawa pulang ke dalam Kraton.

Garebeg atau grebeg mempunyai arti "suara angin". Garebeg merupakan salah satu adat Kraton Ngayogyakarta Hadiningratyang untuk pertama kalinya diselenggarakan oleh Sultan Hamengku Buwana I. Upacara kerajaan ini melibatkan seluruh Kraton, segenap aparat kerajaan serta melibatkan seluruh lapisan masyarakat. Secara formal, garebeg bersifat keagamaan yang dikaitkan dengan hari kelahiran Nabi Muhammad SAW serta kedua hari raya Islam (Idul Fitri dan Idhul Adha).
kirab-budaya-keraton-yogyakarta
Garebeg
Garebeg secara politik juga menjabarkan gelar Sultan yang bersifat kemuslimatan (Ngabdurrahman Sayidin Panotogomo Kalifatullah). Selama satu tahun terdapat tiga kali upacara garebeg yaitu Garebeg Mulud, Garebeg Besar, dan Garebeg Sawal yang diselenggarakan di kompleks Kraton dan lingkungan sekitarnya, seperti di Alun-alun Utara.
Garebeg Besar diselenggarakan Kraton Ngayogyakarta Hadiningrat untuk untuk merayakan Idhul Adha, hari raya Islam yang kedua, yang terjadi dalam bulan Zulhijah. Dalam kalender Jawa, bulan Zulhijah disebut bulan Besar sehingga Garebeg yang diselenggarakan untuk merayakan Idhul Adha disebut Garebeg Besar.
Selain untuk merayakan Idhul Adha, penyelenggaraan Garebeg Besar juga dimaksudkan untuk merayakan umat Islam yang baru saja selesai menunaikan ibadah haji di Tanah Suci. Oleh karena itu, di kalangan masyarakat umum, Garebeg Besar juga dimengerti sebagai lebaran kaji (haji).
https://gudeg.net/direktori/308/garebeg-besar.html
Tradisi Ngabekten merupakan salah satu tradisi yang masih dilakukan di Kraton Yogyakarta. Tradisi ini selalu diadakan setiap tahun, yaitu pada setiap hari raya Idul Fitri.Kalau dilihat dari asal katanya, ngabekten berasal dari kata bekti (bahasa Jawa) yang artinya berbakti atau tingkah laku seseorang untuk menghormat kepada orang tua atau yang dituakan dan orang yang dihormati. Tradisi ngabekten masih berlangsung di rumah-rumah keluarga Jawa, termasuk di Kraton Yogyakarta.
tradisi-ngabekten
Ngabekten
Dalam masyarakat Jawa, ngabekten dilakukan pada saat dilaksanakan upacara lingkaran hidup, misalnya tetesan, supitan, tarapan, upacara perkawinan dan saat hari raya lebaran. Maksud dari penyelenggaraan tradisi ngabekten adalah sebagai ungkapan rasa hormat dan terima kasih kepada Sri Sultan sebagai junjungan mereka, yang telah memberi rezeki dan pengayoman selama mereka megabdi di kraton. Selain itu, tradisi ngabekten k raton Yogykarta juga dimaksudkan untuk meminta maaf kepada junjungannya atas segala kesalahannya, baik yang disengaja maupun tidak disengaja. Tradisi ngabekten juga diselenggarakan dengan maksud untuk memohon doa restu orang tua supaya tidak mendapat halangan dalam menjalani kehidupan selanjutnya.
http://www.njogja.co.id/budaya-jogja/tradisi-ngabekten-kraton-yogyakarta/
Malam Satu Suro 
Malam Satu Suro
Tradisi malam satu Suro bermula saat zaman Sultan Agung sekitar tahun 1613-1645. Saat itu, masyarakat banyak mengikuti sistem penanggalan tahun Saka yang diwarisi dari tradisi Hindu. Hal ini sangat bertentangan dengan masa Sultan Agung yang menggunakan sistem kalender Hijriah yang diajarkan dalam Islam. 

Sultan Agung kemudian berinisiatif untuk memperluas ajaran Islam di tanah Jawa dengan menggunakan metode perpaduan antara tradisi Jawa dan Islam. 

Sebagai dampak perpaduan tradisi Jawa dan Islam, dipilihlah tanggal 1 Muharam yang kemudian ditetapkan sebagai tahun baru Jawa. Hingga saat ini, setiap tahunnya tradisi malam satu Suro selalu diadakan oleh masyarakat Jawa.

Malam satu Suro sangat lekat dengan budaya Jawa. Iring-iringan rombongan masyarakat atau yang biasa kita sebut kirab menjadi salah satu hal yang bisa kita lihat dalam ritual tradisi ini. 

Para abdi dalem keraton, hasil kekayaan alam berupa gunungan tumpeng serta benda pusaka menjadi sajian khas dalam iring-iringan kirab yang biasa dilakukan dalam tradisi Malam Satu Suro.
http://www.indonesiakaya.com/kanal/foto-detail/perayaan-satu-suro-tradisi-malam-sakral-masyarakat-jawa

Peninggalan-peninggalan Sejarah Agama Hindu dan Buddha di Indonesia

1. Buku dan Kitab
  • Kitab Cilpa Sastra, peninggalan Kerajaan Syailendra yang berisi dasar-dasar pokok pembuatan candi.
  • Kitab Arjuna Wiwaha, ditulis oleh Mpu Kanwa pada tahun 1030. Kitab ini merupakan peninggalandari Kerajaan Kediri yang berisi tentang perjuangan Airlangga dalam mempertahankan Kerajaan Kediri.
  • Kitab Negara Kertagama, ditulis oleh Mpu Prapanca pada tahun 1365. Kitab ini merupakan sumber sejarah Kerajaan Singasari dan Majapahit.
  • Kitab Sutasoma yang ditulis oleh Mpu Tantular. Kitab ini dijadikan dasar hukum pada Kerajaan Majapahit. Kitab ini menekankan keadilan antara rakyat dengan bangsawan.
2. Candi
Candi erat kaitannya dengan keagamaan, sehingga candi dianggap sebagai tempat yang suci. Fungsi dari bangunan ini bagi umat Hindu adalah tempat untuk melakukan pemujaan terhadap roh nenek moyang ataupun raja-raja yang telah mendahului kita. Sedangkan, bagi umat Buddha, candi berfungsi sebagai tempat untuk memuja dewa-dewi yang mereka percayai. Beberapa contohnya, yakni :
  • Candi-candi peninggalan Kerajaan Mataram Kuno, seperti Candi Dieng dan Candi Gedung Songo. 
  • Candi bercorak Buddha, yakni Candi Borobudur.
  • Candi-candi lainnya, yakni Candi Mendut, Candi Plaosan, Candi Prambanan, dan Candi Sambi Sari.
3. Prasasti

Prasasti disebut juga batu bertulis, karena prasasti terbuat dari batu. Prasasti biasanya dibangun untuk mengenang suatu peristiwa penting yang telah terjadi. Dari prasasti inilah kita dapat mengetahui peristiwa-peristiwa yang pernah terjadi pada masa lalu. Prasasti tertua yang ditemukan di Indonesia berasal dari abad ke-5, yaitu peninggalan Raja Mulawarman dari Kerajaan Kutai dan peninggalan Raja Purnawarman dari Kerajaan Tarumanegara. Isi prasasti sebagian besar mengagungkan kekuatan raja.

Prasasti Ciaruteun ditemukan di tepi sungai Ciaruteun, di dekat muara sungai Cisadane Bogor. Prasasti tersebut menggunakan huruf Pallawa dan bahasa Sansekerta yang terdiri atas 4 baris syair. Di samping itu terdapat lukisan semacam laba-laba serta sepasang telapak kaki Raja Purnawarman. Raja Purnawarman merupakan salah seorang raja dari Kerajaan Mataram Kuno.

4. Arca
Arca atau patung biasanya terdapat dalam sebuah candi. Arca menjadi simbol telah bersatunya raja dengan dewa penitisnya. Patung dewa-dewa agama Hindu di antaranya Dewa Siwa, Dewa Wisnu, dan Dewa Brahma. Ketiga dewa tersebut biasanya disebut Trimurti. Di dalam agama Budha dikenal adanya Arca Buddha. Arca Buddha biasanya sangat sederhana, tanpa hiasan, hanya memakai jubah.

5. Karya Sastra
Peninggalan bersejarah yang lain adalah karya sastra. Keberadaan Kerajaan Kediri diketahui dari hasil karya berupa kitab sastra. Hasil karya sastra tersebut adalah Kitab Kakawin Bharatayudha yang ditulis Mpu Sedah dan Mpu Panuluh yang menceritakan tentang kemenangan Kediri/Panjalu atas Jenggala. Keberadaan Kerajaan Singasari dibuktikan melalui kitab sastra peninggalan zaman Majapahit yang berjudul Negarakertagama karangan Mpu Prapanca. Karya sastra tersebut menjelaskan tentang raja-raja yang memerintah di Singasari. Selain itu, ada Kitab Pararaton yang menceritakan riwayat Ken Arok yang penuh keajaiban. Kitab Pararaton isinya sebagian besar adalah mitos atau dongeng, tetapi dari Kitab Pararatonlah asal usul Ken Arok menjadi raja dapat diketahui.

Berdasarkan uraian di atas, maka dapat dikelompokkan peninggalan pada masa Hindu dan Buddha. Berikut ini klasifikasi peninggalan pada masa Hindu dan Buddha.

1) Peninggalan pada Masa Hindu
a. Candi Prambanan
b. Candi Panataran
c. Candi Jago
d. Prasasti Ciaruteun
e. Prasasti Tugu
f. Prasasti Kebon Kopi
g. Arca Airlangga
h. Arca Joko Dolog
i. Kitab Arjunawiwaha
j. Kitab Sutasoma

2) Peninggalan pada Masa Buddha
a. Candi Borobudur
b. Candi Mendut 
c. Candi Muara Takus 
d. Prasasti Kedukan Bukit
e. Prasasti Talang Tuo
f. Prasasti Telaga Batu
g. Arca Buddha

Selain berwujud beda, ada juga peninggalan barsejaran dalam bentuk tradisi. Tradisi adalah kebiasaan nenek moyang yang masih dijalankan oleh masyarakat saat ini. Tradisi agama Hindu banyak ditemukan di daerah Bali karena penduduk Bali sebagian besar beragama Hindu. Tradisi agama Hindu yang berkembang di Bali, antara lain:
  1. Upacara nelubulanin ketika bayi berumur 3 bulan.
  2. Upacara potong gigi (mapandes).
  3. Upacara pembakaran mayat yang disebut Ngaben. Dalam tradisi Ngaben, jenazah dibakar beserta sejumlah benda berharga yang dimiliki orang yang dibakar.
  4. Ziarah, yaitu mengunjungi makam orang suci dan tempat suci leluhur seperti candi.
http://www.cpuik.com/2012/12/peninggalan-sejarah-hindu-dan-buddha.html

Perbedaan Sunan Gunung Jati dengan Fatahillah

Sunan Gunung Jati atau Syarif Hidayatullah, lahir sekitar 1450 M, namun ada juga yang mengatakan bahwa ia lahir pada sekitar 1448 M. Sunan Gunung Jati adalah salah satu dari kelompok ulama besar di Jawa bernama walisongo. Sunan Gunung Jati merupakan satu-satunya Walisongo yang menyebarkan Islam di Jawa Barat.

Syarif Hidayatullah adalah putri Nyi Rara Santang atau Syarifah Muda'im, putri Prabu Siliwangi yang menikah dengan Maulana Ishaq Syarif Abdillah, penguasa kota Isma'illiyah Saudi Arabia. Mereka mempunyai dua putera, Syarif Nurullah yang melanjutkan kedudukan ayahnya sebagai Amir (penguasa) dan Syarif Hidayatullah yang bersama ibunya kembali ke tanah Jawa sepeninggal Maulana Ishaq Syarif Abdillah.

Oleh Pangeran Cakrabuana yang menjadi penguasa Caruban, Syarif Hidayatullah diperkenankan tinggal di daerah pertamanan Gunung Sembung sambil mengajarkan agama Islam. Hingga akhirnya Pangeran Cakrabuana menikahkan Syarif Hidayatullah dengan putrinya, Nyi Ratu Pakungwati. Karena usianya yang sudah lanjut, Pangeran Cakrabuana tahun 1479 menyerahkan kekuasaan kepada Syarif Hidayatullah. Sejak saat itulah Islam melalui Syarif Hidayatullah mulai berkembang pesat.

Sedangkan Fatahillah yang biasa disebut Faletehan atau Kyai Fathullah adalah seorang ulama dari Pasai Aceh yang hijrah ke Demak. Ia kemudian diangkat Raden Patah sebagai panglima pasukan Demak yang berangkat ke Sunda Kelapa bersama pasukan Cirebon menghadapi Portugis untuk mempertahankan pelabuhan Sunda Kelapa. Fatahillah berhasil mengusir Portugis dan memberi nama Jayakarta yang berarti Kota Kemenangan, yang kini menjadi kota Jakarta.

Dalam buku Jejak Para Wali dan Ziarah Spiritual terbitan Kompas, disebutkan juga bahwa setelah wafatnya Sultan Trenggana, Ratu Ayu, yang merupakan putri Syarif Hidayatullah, menikah dengan Fatahillah. Jadi bisa dikatakan Fatahillah merupakan menantu dari Syarif Hidayatullah.

Bukti lainnya adalah makam Fatahillah yang terletak di kompleks makam Sunan Gunung Jati. Sunan Gunung Jati wafat tahun 1568, sedangkan Fatahillah wafat 2 tahun setelahnya.

Sumber :
www.brilio.net